19 October 2006

Ini Anak Sidikalang, Bah!

Baru dapet artikelnya nih....

Cucu Murid Einstein Itu Kini Pensiun

PADA terbitan 23 Oktober 2002, surat kabar terkemuka The New York Times menyemat obituari fisikawan Peter Gabriel Bergmann yang-bersama Albert Einstein di Institute for Advanced Study Princeton- lama berusaha membangun Teori Kuantum Gravitasi. Ia diberitakan mangkat di Seattle, Amerika Serikat (AS), 19 Oktober dalam usia 87.

Bergmann kondang sebagai pengarang kitab babon relativitas, Introduction to the Theory of Relativity, semata wayang buku yang pengantarnya ditulis Einstein. Di tahun 1947, saat telaah relativitas menghadapi impase, Bergmann bergabung dengan Syracuse University, New York. Di situ ia berhasil membangun pusat studi relativitas pertama paling prestisius di dunia.

Roger Penrose, kawan sekaligus lawan debat Stephen Hawking yang sepantar dalam kuantum gravitasi, pernah bertahun-tahun meneliti di situ hingga menuai makalah penting tentang radiasi gravitasi, yang menjadi rujukan bagi siapa saja yang mau menelisik asal-usul alam semesta.

Di sebuah situs tentang Bergmann, raksasa relativitas yang masih bugar, JN Goldberg, mengungkapkan hingga pensiun dari Syracuse tahun 1982, Bergmann telah membimbing 32 mahasiswa PhD dalam Teori Relativitas Umum. Mereka kini menyebar di seluruh dunia. Salah satu dari 32 murid itu-dan satu-satunya di Asia Tenggara-adalah Pantur Silaban.

Guru Besar Fisika Teori Departemen Fisika ITB kelahiran Sidikalang, 11 November 1937, ini mengisahkan keberangkatannya ke AS tahun 1967 memang dengan satu tujuan. Belajar Relativitas Umum! "I go there just for the General Relativity Theory, no other things," katanya. "Itu yang ada di benak saya waktu itu."

Hendak ulam, pucuk menjulai. Ia diterima di pusat gravitasi kajian itu di Syracuse, langsung dibimbing oleh Bergmann dan Goldberg. Kedua otoritas Relativitas Umum setelah Sang Proklamator Albert Einstein itu membekuk Silaban memasuki isu paling hangat: mengawinkan Medan Kuantum dan Relativitas Umum untuk meminak Teori Kuantum Gravitasi. Itulah impian terkenal Einstein meramu keempat interaksi yang ada di alam semesta dalam satu formulasi yang gagal ia peroleh sampai akhir hayatnya: Grand Unified Theory.

BAGI Silaban, ajakan itu memperjelas koordinat akademisnya, sekaligus mengorbitkannya dalam lingkaran kecil fisikawan dunia memburu apa yang sekarang dinamakan Theory of Everything. Stephen Hawking berada di inti lingkaran ini. Berbulan-bulan menguantisasi Relativitas Umum supaya akur dengan Medan Kuantum, Silaban, Goldberg, dan Bergmann gagal membidani kelahiran Teori Kuantum Gravitasi. Rekan mereka di Princeton mengingatkan, proyek itu adalah pekerjaan kolektif dalam skala besar yang sampai 25 tahun.

"Hingga sekarang kita tahu, tak seorang pun yang berhasil membangun Teori Kuantum Gravitasi, bahkan Hawking sekalipun," kata Silaban. "Kawan-kawan di Princeton bilang for the whole of your life, Anda tak akan berhasil." Akhirnya Silaban mengikuti saran Goldberg, mengamputasi prinsip Relativitas Umum dengan menggunakan Grup Poincare untuk menemukan kuantitas fisis yang kekal dalam radiasi gravitasi. Temuan ini mengukuhkan keberpihakannya kepada Dentuman Besar (Big Bang) sebagai model pembentukan alam semesta dibandingkan dengan model lain.

Pekerjaan itu selesai pada tahun 1971 dengan disertasi Null Tetrad, Formulation of the Equation of Motion in General Relativity. "Kami menyeimbangkan sedikit pekerjaan Roger Penrose di Syracuse," katanya. "Big man dia itu, saya kenal dia."

Kembali ke Bandung tahun berikutnya, Silaban menjadi orang pertama di Indonesia yang mempelajari Relativitas Einstein sampai tingkat doktor. Beberapa risetnya diterbitkan Journal of General Relativity and Gravitation. Sekian banyak makalahnya dimuat berbagai proceedings.

Seniornya, Prof Achmad Baiquni (almarhum), selalu menyebut nama Silaban sebagai otoritas bila menyinggung nama Einstein.

Beberapa kali diundang sebagai pembicara di International Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan Nobelis Fisika, Abdus Salam, Silaban selalu mencermati indikasi akan keberhasilan Teori Kuantum Gravitasi. Katanya, dengan menganggap partikel sebagai titik, upaya menguantumkan Relativitas Umum berhadapan dengan singularitas yang tak bisa dihilangkan.

Dengan memandang partikel sebagai string, timbul pula masalah yang tak kalah besarnya. Sebab, katanya, "Kita berhadapan dengan perumusan grup simeteri yang paramaternya sampai 496. Waduh, payah ini."

Tidak mau terjebak kepada dogma bahwa Teori Relativitas adalah kebenaran final, Silaban mengatakan, pangkal persoalannya justru terletak pada prinsip Einstein dalam Relativitas Umum. Hanya saja, kelihatannya orang belum punya keberanian yang luar biasa untuk merombaknya.

"Saya sedang berpikir, siapa sih, nanti yang berani menjatuhkan prinsip Einstein ini? Soalnya, nama Einstein ini beken sampai ke Papua," katanya dengan gurauan khasnya. " Tapi, jangan lupa sebetulnya tak ada satu pun teori fisika yang bertahan selama-lamanya. Paling seratus tahun, dua ratus tahun, begitu."

SEPERTI ada koinsidensi kosmik, kurang dari satu bulan Bergmann ke alam baka, Prof Pantur Silaban memasuki masa pensiun November lalu di usia 65. Sebagai ikram kepada ikon dalam jagad fisika teori di Indonesia ini, mantan mahasiswa dan koleganya di Departemen Fisika dan Departemen Astronomi mengadakan Seminar Sehari A Tribute to Prof P Silaban, 20 Februari lalu.

"Sulit membayangkan kehadiran fisika teori di Indonesia tanpa Pak Silaban," kata Triyanta PhD, Ketua Departemen Fisika ITB, salah satu mantan mahasiswa bimbingannya.

"Bila suasana akademis di ITB dan Indonesia memadai, bukan tak mungkin Pak Silaban menghasilkan kontribusi yang sangat berarti dalam fisika," kata Prof Dr M Ansyar dari Departemen Matematika, yang dibacakan Dr Freddy P Zen.

"Yang selalu saya ingat dari Pak Silaban adalah pernyataannya bahwa segala sesuatu, termasuk ruang dan waktu, akan berakhir," kata Prof The Houw Liong PhD dari Departemen Fisika ITB. "Yang tidak berakhir adalah hukum alam."

"Pak Silaban pernah menghitung bahwa temperatur neraka beberapa derajat lebih rendah daripada temperatur surga. Itu sebabnya orang lebih banyak berbuat jahat karena neraka ternyata lebih sejuk," kata Prof Bambang Hidayat PhD dari Departemen Astronomi.

Tentang ini Silaban berkomentar, "Sebenarnya bukan saya yang menghitung. Itu saya baca di Physics Today, beberapa fisikawan suka berpikir aneh-aneh dan mencoba menghitung suhu surga dan neraka dengan menggunakan statistik Boltzmann, Bose-Einstein, dan Fermi-Dirac."

Sehari menjelang seminar sehari itu, Silaban menerima kami dalam percakapan lima jam menyenangkan di kediamannya di bilangan Sangkuriang, Bandung. Tinggal istrinya, Rugun Lumbantoruan, yang menemaninya di situ. Keempat putrinya-Anna, Ruth, Sarah, dan Mary-semuanya sarjana dari perguruan tinggi negeri mandiri. Tiga sudah menikah dan memberinya dua cucu, Jeremy dan Joshua. (SALOMO SIMANUNGKALIT)

Sumber : Kompas (8 Maret 2003)